Aku terlahir BATAK :)
“Orang Batak itu kan yang makan orang, kanibal!”
Opini itu saya terima lewat jejaring sosial, ada hal yang perlu diakui sebagai turunan Batak, namun perlu juga ketelitian, bukan demi pembelaan, namun pembelajaran yang mendewasakan bersama.
Tahun 1834 dua orang misionaris Amerika, Munson dan Lyman yang diutus Zending Boston, tiba di Sibolga. Dari sana mereka melanjutkan perjalanan menuju lembah Silindung. Tiba di pinggir lembah tersebut, malam tiba, karena itu mereka berhenti dan bermalam di Lobu Pining. Malam itu tanggal 28 Juni 1834. Raja Panggalamei beserta rakyatnya menangkap “dan menyembelih kedua orang itu lalu memakannya”. (O.P Simorangkir, Berhala, Adat Istiadat dan Agama, Lobu Harambir, 2007).
Sebelum kedua penginjil itu datang, Pdt. Ward sudah lebih dulu pernah ke Toba; Pada 19 April 1834 mereka tiba di Bengkulu. Munson dan Lyman tinggal di sini selama 4 hari. Lalu pada tanggal 26 April 1834, mereka sudah menjejakkan kaki di Padang. Pendeta Ward menyambut keduanya. Munson dan Lyman mendapat banyak informasi penting dari beliau, karena Ward sudah pernah mengunjungi Tanah Batak pada tahun 1824. Menurut Pendeta Ward, orang Batak adalah masyarakat yang ramah tamah. Pendeta Ward juga menceritakan penyambutan raja-raja Batak terhadap dirinya yang disertai tarian (tortor).
Munson dan Lyman sebelumnya juga sudah diperingatkan; Ketika sampai di kampung Raja Suasa, Pendeta Munson dan Lyman menerima saran dari Raja Suasa agar mereka menginformasikan lebih dulu kedatangannya di Silindung. Saat itu, suasana di Rura Silindung (sekarang Kota Tarutung) memang masih diwarnai kemelut akibat ekses dari Perang Bonjol. Namun Munson dan Lyman memilih menghemat waktu agar segera tiba di Silindung.
Raja Panggalamei tidak mewakili keseluruhan Batak. Masa itu, sistem raja huta (raja kampung) masih menjadi pola, didasari setiap marga. Munson dan Lyman juga terbunuh akibat tidak mengindahkan pesan Raja Suasa.
“Adat Batak identik dengan agama!”
“Eh, ulos Batak itu ada rohnya, lho…” kata seorang mantan paranormal pada saya. Lalu saya keluar dari ruang diskusi itu berdoa dan berpikir, “Kalau ulos ada rohnya, dinding, batu, dan meja pun bisa ada rohnya..” Nenek saya pengerajin ulos di Balige, dia menenun dengan tekun setiap hari. Untuk satu ulos, ia memerlukan waktu dua sampai tiga hari. Saya tidak melihat praktik-praktik baca mantra kala ia merajut ulos tersebut. Dalam beberapa acara adat, seperti memberi ulos (Mangulosi), sebelum ulos diberikan, ada doa pada Tuhan dan nasihat dari pihak pemberi.
Terkait istilah Debata, zaman Parmalim itu sudah santer. Sebagian Kristen Batak masa kini menyebut Allah dengan Debata (YHWH), tudingannya; mereka sesat, karena Debata adalah Setan; yang oleh Datu Bolon (dukun besar) pada masa lampau dipakai sebagai alamat doa untuk menyiksa musuh-musuh mereka. Dalam bahasa Batak, Tuhan itu Debata, Syalom sama dengan Horas.
“Ah! Males nikah pakai adat Batak, ribet! Mahal! Lama! Boros!”
Globalisasi mengajarkan supaya kita efisien dalam pengeluaran dan maksimal dalam pendapatan, selaras hukum ekonomi. Tentu, tidak ada yang ingin pemborosan dalam berbagai hal, termasuk adat. Sahabat terkasih, sering bukan kita mendengar keluhan di atas. Baiklah, kita mesti akui penyelenggaraan adat itu mahal; mengundang sanak keluarga, rekan sejawat, dan warga sekampung. Biasanya, di masa kini, kita memberikan uang sebagai pengganti biaya perjalanan mereka. Di masa lalu, hal itu tidak menjadi mesti berlaku, karena mereka sadar bahwa itu adalah bagian dari kesatuan persaudaraan yang saling mendukung dan mengerti. Mereka datang dengan tulus meski jalan kaki lewat bukit-bukit atau naik perahu.
Masa kini? Kita lebih sering berkesah mahalnya ini dan itu. Ketika memenuhi satu undangan, itu menandakan bahwa kita senantiasa menjaga dan menghormati relasi sesama. Jadi pergeseran budaya itu bukan kesalahan adat, namun pada pola pikir. Ada beberapa pula prosesi adat, seperti; kematian (Saur Matua) salah satunya, mesti memenuhi beberapa syarat supaya bisa dilaksanakan; Semua anaknya sudah menikah dan punya keturunan. Ini bukan persoalan uang utamanya.
“Haduh! Susah tau! Gwe nggak ngerti bahasa Batak! Suntuk gwe liat lu, huh!”
Saya rasa kurang arif menuding seorang yang tidak bisa berbahasa Batak lalu anti identitas. Semua ini bisa terdorong faktor; kebiasaan penggunaan bahasa sehari-hari di rumah, kesadaran orang tua memberikan pendidikan budaya, pergaulan anda dan saya, domisili terkini, dsb.
Kalau anda dan saya jago English, terkesan terpelajar dan keren. Kalau pinter bahasa Batak; Kampungan, BTL (Batak Tembak Langsung), atau Primordialis. Kedua stigma itu tidak memiliki dasar yang kuat, ketika melihat konteks globalisasi searah.
*Aku terlahir Batak, berTuhan, terdidik, kagum adat istiadat, berelasi, juga kebangsaan Indonesia. katakan itu dalam hati Anda :)
0 comments:
Post a Comment