SOEKARNO SENGAJA DIWAFATKAN

A. Kepergian sang Proklamator

Wisma Yaso, Jakarta, 21 Juni 1970, menjadi saksi perginya seorang proklamator yang membawa lokomotif Indonesia menuju kemerdekaannya. Dialah Ir.Soekarno. Setelah satu tahun diisolasi di istana Batu Tulis oleh rezin Soeharto, akhirnya permohonan Soekarno untuk hijrah (pindah) dan mendapatkan pengobatan di Jakarta dikabulkan oleh Soeharto. Tapi, semua sudah terlambat. Penyakit sudah terlanjur berkarat dalam raga.Penyakit medis yang menggrogoti dan beban psikologis karena dijauhkan dari keluarga sendiri dan dunia luar, membuat pertahanan Soekarno luruh bagai istana pasir. Hijrahnya ia ke Jakarta bagai menjadi wasiat terakhir dirinya untuk melihat ibukota yang telah diperjuangkan dengan jalan revolusi bersama para pejuang bangsa. Akhirnya, tanah merah dan gembur di Desa Sentul, Blitar, menjadi tempat peristirahatannya terakhir. Namun, pada benak banyak orang masih tersisa satu tanya, “Apa yang terjadi sebenarnya??”


B. Perlakuan Rezim yang tak Pantas pada Seorang Mantan presiden

Sebagai seorang mantan presiden, Soekarno tak merasakan kompletnya fasilitas perawatan kesehatan sebagaimana presiden-presiden pada jaman sekarang. Dr.Mahar Mardjono yang pernah mempelajari delapan buku mengenai perawatan Soekarno dalam rentang waktu 1967 hingga 1970, menyebutkan bahwa Soekarno hanya diberi obat-obat biasa, seperti vitamin B-Kompleks. Padahal, sang presiden menderita penyakit ginjal yang parah. Kesehatan Soekarno pun tidak ditangani oleh tim dokter dari beragam spesialisasi, melainkan hanya ditangani oleh seorang dokter umum.

Selain masalah medis yang tidak mendapatkan penanganan sebagaimana mestinya, secara psikologis pun Soekarno mendapat siksaan batin yang luar biasa berat. Di tengah sakitnya, ia harus menghabiskan hari-hari terakhirnya dalam sebuah pengasingan politik dan mental. Hari-hari terakhirnya betul-betul berada dalam kesunyian dan kesepian yang nyaris sempurna. Dia tidak hanya dijauhkan dari publik, tetapi juga dari keluarganya sendiri. Bahkan, anak-anak Soekarno sendiri dibatasi aksesnya untuk dapat bertemu. Komplikasi beban medis dan psikologis inilah yang kemungkinan membunuh dirinya secara perlahan-lahan.
Banyak orang kemudian bertanya, “Apakah rezim Soeharto sengaja ingin membunuhnya perlahan-lahan??”. Mengapa ketika ia dibesuk oleh Hatta, air matanya begitu deras mengalir, seolah-olah bendungan keangkuhannya sebagai laki-laki tak lagi kuasa menahan derita tak terperi yang diterimanya? Seorang pria perkasa yang berani berteriak lantang kepada AS, “Go to hell with your aids!!” harus menangis sesegukan seperti bayi merah.
Misteri semakin terbuka ketika dalam sebuah biografi dituliskan bahwa Bung Hatta telah meminta Soeharto melalui Durmawel, SH., penuntut umum perkara Dr.Soebandrio, agar Soeharto sesudah 3 tahun lebih mengusut perkara Bung Karno. Lalu, sgera mengajukannya ke pengadilan untuk memastikan Bung Karno bersalah atau tidak. Sebab, jika Putra sang Fajar itu meninggal dalam statusnya sebagai tahanan politik karena tidak diadili, rakyat di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang percaya bahwa Bung Karno tidak bersalah, akan menuduh pemerintahan Soeharto sengaja membunuhnya. Bung Hatta juga sempat mengirimkan surat kepada Soeharto yang mengecam perlakuan tidak manusiawi yang diterima Soekarno dalam tahanan rumahnya.

Bahkan menurut putri Soekarno, Sukmawati Soekarno Putri, rezim soeharto mengirim dokter hewan untuk merawat Soekarno. Bandingkan dengan 40 orang tim dokter ahli yang mendampingi dan merawat Soeharto ketika sakit! Itu menjadi salah satu alasan mengapa ia enggan memaafkan Soeharto. Perlakuan tak manusiawi yang diberikan Soeharto itulah yang memicu banyaknya orang menduga bahwa rezim Orde Baru sengaja berkonspirasi untuk membunuh sang Proklamator secara halus dan perlahan.

Janda Soekarno, Dewi Soekarno, bahkan mencurigai rezim Soeharto telah meracuni suaminya. Mengapa harus ‘dibunuh’? Ada teori yang mengatakan bahwa setelah Soeharto menjadi presiden/Mandaris MPRS, kekuasaannya memerlukan legitimasi (jalur yang sah), yakni melalui Pemilu. Tapi, Pemilu itu menjadi inkonstitusional (melanggar Undang-Undang Dasar) selama Indonesia memiliki dua presiden, de jure atau secara hukum (Bung Karno) dan de facto sesuai kenyataan (Pak Harto). Jadi, tidak bisa tidak, salah satunya harus disingkirkan. Banyak yang mempercayai teori ini menjadi alasan bagi ‘penyingkiran’ Bung karno.

0 comments:

Post a Comment