Dulu Pedagang Kaki Lima, Kini Dokter Terkenal

PENAMPILANNYA biasa-biasa saja, malah terkesan sangat sederhana dan bersahaja. Sementara, tutur bahasanya santun dan begitu teratur.Ya, itulah sekilas gambaran sosok dr Yusuf Efendi SpOG. Dokter ini sudah dua tahun ini dipercaya mengepalai Graha Spesialis di RSMH Palembang. Seperti apa putra asli Palembang ini merintis kariernya?Ditemui di ruang kerjanya di Lantai 2 Gedung Graha Spesialis RSMH baru-baru ini, dokter jebolan Universitas Sriwijaya (Unsri) ini terlihat sumringah. Dia tetap ramah menerima kedatangan SINDO, meski jadwalnya sangat padat hari itu.

Karena memang cepat akrab, tanpa perlu banyak bertanya lagi, cerita-cerita mengenai perjalanan kariernya menjadi seorang dokter yang lumayan disegani di Kota Pempek seketika langsung mengalir dengan derasnya.

Menurut anak kedua dari 10 bersaudara buah hati H Kemas Umar ini, menjadi seorang dokter tak pernah terlintas sekalipun dalam benaknya ketika dia masih kecil, apalagi sampai memiliki karier secemerlang sekarang ini. Sebaliknya, Yusuf kecil justru ingin sekali menjadi pedagang, lantaran memang dikelilingi keluarga besarnya yang kebanyakan menekuni mata pencaharian sebagai pedagang kain di Pasar 16 Ilir.

Mulanya, kata dokter berkacamata itu, dia mengenal kerasnya kehidupan pasar sejak duduk di bangku SD. Kala itu dia harus bolak-balik setiap hari dari Lorong Lebak, Cinde, ke Pasar 16 Ilir karena sering ditugaskan sang ibunda mengantar makanan siang buat ayahnya yang memang sudah bertahun-tahun berdagang di pasar ritel paling besar di Palembang tersebut.
“Orang tua saya pedagang kaki lima. Setiap hari mereka berjualan kain. Karena harga nasi waktu itu mahal, makanya saya yang selalu disuruh ibu mengantarkan makanan dari rumah untuk ayah,” katanya.

Dari sana, dia pun diam-diam mencuri ilmu jual beli secara autodidak. Dia mulai mencuri-curi waktu untuk ikut berdagang dengan ayahnya. Bahkan, pernah satu kali dia diajak sang paman berdagang celana berdua saja di halaman Masjid Agung Palembang. Waktu itu Yusuf masih duduk di bangku SD. Karena mendapat untung yang lumayan besar, dia pun akhirnya ketagihan berjualan. Tak kurang hampir satu tahun dia melakoni pekerjaan sebagai pedagang kaki lima di sekitar masjid kebanggaan wong Palembang tersebut.

Meski harus berpanas-panasan menjajakan kain dan celana pendek, Yusuf kecil tetap bersemangat. Karena memang dasarnya pedagang, sang ayah menyambut baik keinginan anaknya kala itu. Alhasil, dia pun tak begitu tertarik lagi belajar di sekolahnya dan terpaksa harus masuk SMP swasta yang sekarang menjadi SMPN 6 Palembang.

“Waktu itu aku malu sekali dimarahi karena tidak masuk SMP negeri. Dari sana aku bertekad untuk belajar dan akhirnya diterima di SMA Negeri 2 Palembang,” kata pria kelahiran Palembang, 27 Desember 1959 itu bersemangat.

Saat itu dia masih tetap saja sering berdagang bersama sang paman. Sampai suatu kali ayahnya memintanya untuk berhenti berdagang. Namun, karena sudah ketagihan, Yusuf pun langsung menolak mentahmentah keinginan sang ayah.

“Pemicunya karena waktu itu ada langganan ayah yang berutang untuk bayar SPP anaknya yang kuliah di ITB. Dari sana ayah mati-matian menyuruh saya berhenti berdagang dan fokus saja sekolah,” ujarnya.

Karena tak mau mengecewakan orang yang telah membesarkannya, dia pun akhirnya tekun belajar hingga akhirnya berhasil menyabet juara umum II.

Lulus dari SMA, dia pun berencana masuk ke sekolah farmasi yang memang memiliki ikatan dinas. Saat itu yang ada dalam benaknya hanya ingin cepat tamat sekolah dan bekerja. Maklum, jumlah saudaranya yang sangat banyak, ditambah ekonomi keluarga yang tak seberapa, menuntutnya untuk segera membantu kedua orang tuanya mencari tambahan penghasilan.

“Nah, waktu itulah ada saudara ayah yang melarang. Dia bilang aku berpotensi kuliah kedokteran karena sangat prospektif, jadilah saya disuruh ikut Sipenmaru (seleksi penerimaan mahasiswa baru),” tutur pria yang tengah menyelesaikan program doktornya itu ramah.

Niatnya menjadi seorang dokter juga makin kuat manakala melihat sakit asma ibunda yang selalu kambuh dan susah mencari dokter untuk segera mendapatkan pertolongan. Dia pun akhirnya ikut tes dari sekolah. Saat itu ada sekitar 12 anak sekolahnya yang mengikuti tes kedokteran. Namun, dari 12 orang tersebut, hanya empat orang yang lulus, termasuk dirinya.

“Itu juga jadi salah satu alasan utama, jadi saya bisa menolong orang dekat saya lebih cepat,” ujar dia.

0 comments:

Post a Comment