Showing posts with label Agama Kristiani. Show all posts
Showing posts with label Agama Kristiani. Show all posts

Lambang KRISTEN : Mengapa harus SALIB ?


Ada Apa dengan Salib?

          Simbol merupakan identitas. Mau bukti? Seandainya Anda melihat gambar apel kroak di sisi kanannya, kemungkinan besar Anda akan langsung ingat pada sebuah perusahaan Amrik penjual komputer dan berbagai piranti lunak. Perusahaan itu ialah Apple. Atau misalnya, sebuah mobil melintas di depan Anda; di kap mesin mobil itu bertengger seekor macan kecil—tentunya bukan macan beneran—yang tengah menerkam mangsanya, niscaya Anda akan berdecak-decak. Mobil yang punya lambang seperti itu adalah mobil merek Jaguar yang keren juga mahal.

          Rupanya, lambang tak hanya milik produk(-produk) niaga. Agama juga punya lambang! Sebuah teratai yang mengembang adalah simbol milik agama Buddha. Sedang agama Islam diwakili oleh lambang bulan sabit dan bintang. Lalu, lambang agama Kristen? Anda tentu mafhum jawabannya, “salib!”
           Konon, salib jadi simbol kekristenan setelah menyusuri jalan panjang. Pada awalnya orang Kristen tidak memakai salib sebagai simbol, melainkan burung merak (sebagai lambang kekekalan), merpati, mahkota kemenangan atlet romawi dan terutama ikan. Ikan dipakai sebagai lambang karena kata “ikan” dalam bahasa Yunani adalah “ichtus.” Kata itu digunakan untuk singkatan Iesus Christos Theou Huios Soter (Yesus Kristus, Anak Allah, Juruselamat) (lih. gambar).



          Mengapa orang Kristen mula-mula belum memakai simbol salib? Jawabannya adalah karena mereka enggan memakai salib yang mengingatkan mereka pada hukuman yang terkeji dan memalukan. Mereka menolak memakai salib, karena kengerian yang terkandung di dalamnya. Cicero (106-43 SM), seorang negarawan dan ahli hukum Romawi pernah menyinggung kengerian salib, “gagasan tentang ‘salib’ tidak hanya harus dibuang jauh-jauh dari diri seorang warganegara Romawi, tetapi juga tidak boleh terlintas dalam pikirannya, matanya dan pendengarannya.” Akhirnya, pada abad kedua (kira-kira seratus tahun setelah Yesus wafat) salib mulai dipakai orang Kristen. C. S. Lewis, seorang munsyi sekaligus apologet Kristen pernah bertutur, “salib mulai menjadi seni yang umum dipakai oleh gereja pada saat semua orang yang pernah melihat salib yang sesungguhnya mati.” Pada puncaknya, salib dipakai sebagai lambang resmi agama Kristen setelah kaisar Roma, Konstantinus Agung, bertobat. Pada tahun 300-an kaisar itu memaklumatkan agama Kristen sebagai agama resmi Roma dan menggunakan salib sebagai lambang.

             Mengapa akhirnya agama Kristen memilih salib sebagai identitasnya? Mengapa bukan palungan, lidah api, mahkota, atau kubur yang kosong? Jawabannya karena salib adalah inti kehidupan Tuhan Yesus, sekaligus jantung kekristenan. Bagi orang Kristen, salib bukan sekadar tempat eksekusi yang terkeji karena di atasnya sang terhukum digantung untuk merasakan siksaan yang tak terperi detik demi detik, bahkan selama berhari-hari. Salib juga bukan sekadar alat pengukum mati yang terhina karena sebelumnya terhukum yang memikul salibnya harus diarak keliling kota untuk dipermalukan. Salib, dari perspektif orang percaya, mengandung makna yang amat penting.


1. DI ATAS SALIB YESUS MATI MENGGANTIKAN KITA

          Sang Khalik adalah Guru yang ulung. Betapa tidak? Saat mengajar tentang makna salib, Allah tidak menjelaskannya begitu saja. Allah menggunakan alat peraga, bahkan mengajak umat-Nya untuk terlibat dengan alat itu. Konon, menurut para pakar pendidikan, semakin banyak indera murid dilibatkan dalam proses pembelajaran, semakin si murid paham. Nah, untuk menolong umat-Nya memahami arti salib, Allah memakai “kurban.”

          Sedari awal peradabannya, manusia telah mengenal kurban. Memang Alkitab tidak menyebut siapa pengajar manusia untuk mempersembahkan kurban. Tapi, dapat dipastikan Allah sendiri yang memperkenalkan ide kurban pada manusia. Alkitab menceritakan mulai dari anak-anak Adam dan Hawa, Kain dan Habil, manusia telah mempersembahkan kurban (Kej. 4:1-5). Tak ayal, selepas air bah Nuh dan keluarga pun menyembelih beberapa hewan lalu mempersembahkannya sebagai kurban bakaran (Kej. 8:20). Selain Nuh, tak ketinggalan Abraham juga membakar kurban di atas mezbah (mis. Kej. 12:7-8). Setelah bangsa Israel mengalami pembebasan dari perbudakan bangsa Mesir, Allah memberi hukum-hukum-Nya agar mereka tidak melenceng dari perjanjian dengan Allah. Salah satu perintahnya ialah mempersembahkan kurban.

                Secara umum, kurban dapat dibagi menjadi dua jenis. Yang pertama ialah kurban yang dipersembahkan untuk menyembah dan mengucap syukur pada Allah. Sedangkan jenis yang kedua adalah kurban yang dipersembahkan untuk memohon pengampunan dosa. Ketika seorang Israel berbuat dosa, ia harus mengambil hewan, entah itu lembu atau kambing, menyembelihnya dan mempersembahkan kepada Tuhan menurut aturan yang telah ditentukan Tuhan. Setahun sekali seorang imam besar, yaitu pimpinan dari orang-orang yang bertugas melaksanakan segala bentuk ibadah di bait Allah, harus menyembelih beberapa hewan (aturan secara mendetail dapat dilihat dalam Imamat 16) untuk menghapus dosa seluruh umat Israel.

         Hal-hal apakah yang hendak Allah ajar melalui alat peraga kurban? Pertama, semua bentuk dosa mendatangkan hukuman dari Allah. Dosa itu ibarat sejumlah hutang yang harus dibayar dengan hukuman dari Allah. Namun, seorang pendosa dapat luput dari hukuman bila ada pihak lain yang menggantikannya. Dalam hal ini, hewan-hewanlah yang harus menanggung hukuman itu. Namun, Alkitab mencatat bahwa hewan kurban yang dipersembahkan kepada Allah tidaklah cukup untuk menghapuskan hukuman dosa. Mengapa demikian? Selain karena kurban itu dipersembahkan oleh imam yang berdosa (Ibr. 7:27), kurban-kurban itu hanya dapat menghapus dosa-dosa yang dilakukan tanpa sengaja (Ibr. 9:6-7 bdk. Im. 4:2).

            Lalu, bagaimana halnya dengan dosa yang dilakukan secara sengaja? Apakah dosa semacam ini dapat diampuni? Jawaban dari pertanyaan ini ialah “dapat!” So, bagaimana caranya? Tentu saja dengan prinsip kurban. Dosa tetap mendatangkan hukuman, namun hukuman itu tidak harus ditanggung sendiri oleh pendosa itu asal ada yang menggantikannya. Lalu siapakah yang dapat menggantikan hukuman itu? Yesaya 53 ayat 4 dan 6 memberitahukan jawabnya, “Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah. Kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri, tetapi TUHAN telah menimpakan kepadanya kejahatan kita sekalian.” Yesus yang dinubuatkan oleh nabi Yesaya, Dialah yang menjadi pengganti bagi manusia yang berdosa! Dengan menyitir Ulangan 21:23, Paulus berkata, “Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis: ‘Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!’” (Gal. 3:13). Yesus yang tergantung di atas kayu salib Dia-lah yang menjadi kurban yang “tersembelih” bagi kita. Saat Ia meregang nyawa di atas salib, Yesus menanggung murka Allah yang seharusnya ditimpa manusia.

               Baru-baru ini banyak orang menuntut penundaan eksekusi mati atas Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu, tiga orang tersangka otak kerusuhan Poso. Dukungan untuk ketiga ketiga orang itu mengalir dari banyak pihak, mulai dari rakyat jelata , para petinggi agama sampai tokoh-tokoh nasional. Dukungan juga membanjir dari dalam maupun luar negeri. Yang menarik, pada tanggal 11 April 2006 harian Suara Pembaruan mendapat e-mail dari seorang pastor katolik Indonesia yang sedang studi filsafat di Roma. Pada intinya, pastor yang bernama Leo Mali, Pr. itu bersedia untuk menggantikan Tibo dan kawan-kawannya untuk menanggung eksekusi itu. Sungguh, berita itu amat mengejutkan saya! Bayangkan, di tengah zaman yang individualis dan pragmatis ini, ternyata masih ada orang yang mau mati untuk orang lain, bahkan yang tak dikenalnya. Namun kematian Yesus di atas kayu salib berbeda dengan kesediaan Romo Leo untuk mati bagi Tibo dan kawan-kawannya. Kematian seorang manusia, siapa pun itu, tak punya dampak apa-apa dalam hal pengampunan dosa. Kematian manusia berdosa tak dapat menghapus hukuman bagi pendosa lainnya. Namun, kematian Yesus di atas kayu salib sanggup menghapus hukuman dosa umat manusia.

              Yesus dapat menanggung hukuman yang seharusnya diterima manusia, sebab Ia tanpa dosa (Ibr. 4:15; 7:6). Konsep yang Allah ajarkan melalui kurban ialah hewan yang hendak dikurbankan harus sempurna, tanpa cacat cela. Konsep itu pun berlaku pada diri Yesus. Yesus dapat menjadi kurban sempurna karena Ia pun sempurna, tanpa setitik dosa.

              Setiap kali mengingat penyaliban Yesus, hati saya penuh haru. Dalam hati ini membuncah rasa takjub campur sukacita. Bagi saya yang kecil dan hina ini, kok mau-maunya Allah mati? Pengorbanan Yesus terasa terlalu besar untuk saya. Tapi selain terharu saya pun malu. Saya malu pada diri saya sendiri. Saya merasa belum memberi apa-apa untuk Tuhan. Sebaliknya, saya sering mengecewakan Dia. Pikiran, kata dan perbuatan saya kerap mendukakan-Nya. Duh Gusti, ampuni!


2. DI ATAS SALIB YESUS MENGALAHKAN IBLIS

           Pernah nonton film Ransom? Film yang ditayangkan pertama kali tahun 1996 ini bercerita tentang keluarga seorang konglomerat bernama Tom Mullen (diperani oleh aktor ganteng Mel Gibson) dengan istrinya, Kate serta anak mereka, Sean. Suatu hari, anak semata wayang itu diculik. Penculik itu meminta Tom menukar nyawa anaknya dengan uang tebusan sebesar dua juta dollar Amerika. Mendengar permintaan itu, sang bapak memutar otak dan berusaha sekuat tenaga agar ia tidak kehilangan uang namun anaknya tetap selamat.

               Sekitar seribu delapan ratus tahun yang lalu, Origenes memaknai penyaliban Yesus dari sudut pandang tebusan (belakangan pandangan ini diikuti juga oleh Gregory, uskup Nissa [335-394]). Menurutnya, manusia yang telah jatuh ke dalam dosa telah menjadi tawanan iblis. Namun, Yesus memberikan diri-Nya untuk menjadi tebusan bagi manusia yang berdosa. Iblis, yang sejak dulu mengharapkan kekalahan Anak Allah tentu saja mau menukar manusia dengan kematian Yesus. Ternyata iblis tertipu. Di atas salib, Yesus tetap menang. Kuasa dan kesucian Yesus telah mengalahkan si iblis. Kebangkitan Yesus pada hari ketiga pun jadi bukti kemenangan telak-Nya atas kuasa maut.

             Tentu saja kita tidak dapat menerima pandangan Origenes dan Gregory. Pandangan mereka itu terlalu membatasi ke-Mahakuasaan Allah. Seolah-olah Allah lebih inferior dari iblis sehingga harus tunduk di bawah aturan main bikinan iblis. Lagi pula penipuan yang terkandung dalam pandangan ini tidak sesuai dengan sifat Allah yang benar dan kudus. Namun, pandangan ini memuat beberapa kebenaran. Pertama, salib adalah kancah peperangan antara Allah dan si penguasa maut. Kedua, di atas salib Yesus telah menghancurkan si iblis.

           Sebetulnya sedari awal bau peperangan antara Anak Allah dan pangeran maut telah tercium. Sejak kelahiran Yesus, iblis telah berusaha untuk menghancurkan-Nya. Melalui tangan Raja Herodes yang bengis, iblis berkeinginan melenyapkan Sang Bayi kudus. Tak cuma itu, iblis berusaha dengan berbagai cara untuk menggoda agar Yesus jatuh. Iblis memberanikan diri menjumpai Yesus untuk melancarkan serangan mautnya setelah Yesus berpuasa empat puluh hari. Sang ular tua pun memperalat orang banyak untuk membujuk Yesus agar mbalelo dari misi-Nya untuk menjadi raja duniawi (Yoh 6:15). Iblis juga tak kurang licik, ia memakai Petrus, yang baru saja memproklamirkan ke-Mesiasan Yesus di depan para murid, untuk memengaruhi Yesus agar Ia meninggalkan jalan salib. Namun, Yesus menghardik Petrus dan berkata, “Enyahlah iblis!” (Mat. 16:23). Puncak peperangan itu ialah salib. Godaan untuk tidak menaati kehendak Bapa telah mengepung Yesus semenjak di Getsemani. Pertempuran Yesus melawan godaan iblis itu bertambah berat karena Ia harus menghadapinya sendirian. Di saat genting, murid-murid-Nya justru ngacir meninggalkan-Nya. Ada yang menjual, ada pula yang menyangkali-Nya. Sisanya tidak lebih baik. Mereka juga “menjual” Yesus dengan keselamatan mereka sendiri. Tetapi pergumulan itu jadi maha berat, karena Sang Bapa meninggalkan Anak-Nya sebatang kara. Yesus benar-benar berjuang sendiri. Tapi puji Tuhan, Yesus menang! Sampai saat terakhir Yesus tetap taat dan tidak berdosa. Ia telah menang atas segala macam tipu muslihat dan godaan bapa pendusta itu. Di atas salib kepala ular itu telah diremukkan (Kej. 3:15). Hancur lebur. Menjadi puing.

        Tetapi kisah perang ini belum usai. Sampai kini raja maut dan antek-anteknya terus berupaya menghancurkan para pengikut Kristus (mis. Ef. 6:12). Sayang, tak banyak anak Allah menyadari bahwa mereka sedang berada di tengah-tengah kancah perang. Hanya sebagian kecil yang bersiap siaga. Sisanya, sedang leha-leha. Ketika serangan itu datang, orang-orang itu langsung mengibarkan bendera putih. Menyerah kalah. Padahal di atas salib, Yesus, telah mematahkan kuasa Sang Maut. Kemenangan Yesus di atas salib telah menjamin kemenangan kita. Hanya, kita harus selalu waspada, senantiasa memakai peralatan perang rohani. Berjaga-jaga di dalam doa dan terus mengasah pedang roh, yaitu dengan merenungkan firman Tuhan dan melakukannya dengan setia (Ef. 6:13-18).

Sejarah Kristen dan Katholik




Sejarah Kristenisasi oleh Agama Protestan

  1.    Zending Protestan pertama kali datang ke Indonesia pada tahun 1831 dengan dua orang pendeta bernama Riedel dan Schwarz ke Minahasa. Pada tahun 1850 mereka membuka sebuah Kweekschool (sekolah pendidikan guru) di Tomohon dan pada tahun 1868 dibuka pula Sekolah Guru Injil (Hulpzendelingen). Kristenisasi di Minahasa itu ditangani dan dibeayai oleh Nederlandse Zendelinggenootschap yang didirikan di Rotterdam tahun 1787. Pada tahun 1882 di Minahasa juga didirikan asrama dan sekolah khusus bagi anak-anak pegawai negeri serta orang-orang terkemuka. Semua sekolah tersebut mendapat subsidi dari Pemerintah Hindia Belanda. Tahun 1888 mereka mendirikan percetakan untuk mencetak buku-buku, selebaran dan sebuah surat kabar yang bernama, "Cahaya Siang."
  2.    Di kepulauan Sangihe dan Talaud bangsa Portugis telah lebih dahulu menyiarkan agama Kristen. Pekerjaan ini kemudian diambil alih dan diteruskan oleh bangsa Belanda di Ambon dan Maluku dipelopori antara lain oleh: J. Kam pada pertengahan abad ke 19 juga. Dia adalah utusan dari Nederlandse Zendinggenootschap tersebut. Kemudian mereka luaskan sampai ke pulau Buru. Adapun daerah Sulawesi Tengah dan Tenggara kristenisasi dilakukan oleh Bala Keselamatan atau Leger des Heils, sedang Gereformeerde Zendingbond mengirimkan pendeta Van Den Loodrecht ke Luwuk pada tahun 1913. Di Bolaang Mongondow pengkristenan dilakukan oleh Nederlandse Zendinggenootsehap. Pada tahun 1904 seorang raja meminta kepada Zending itu untuk mendirikan sebuah H.l.S. disana. Sekolah ini terlaksana pada tahun 1913. Perkumpulan De Nederlandse Zendingvereniging yang semula diberikan tugas mengkristenkan Jawa Barat, pada tahun 1915 juga beroperasi di Sulawesi Tenggara.
  3.    Kristenisasi di Jawa Timur dipelopori oleh seorang tukang jam bangsa Belanda di Surabaya yang bernama Emde dan seorang tuan tanah bernama C. Coolen kira-kira pada tahun 1840. Empat tahun kemudian pengikut mereka berhasil membentuk sebuah desa Keristen di Mojowarno di mana dewasa ini berdiri sebuah rumah sakit Kristen yang amat besar dan modern. Pada tahun 1848 seorang zendeling lagi yaitu E.J. Jellesma datang ke Surabaya lalu ke Mojowarno. Dengan dibantu oleh seorang guru Injil Paulus Tosari didirikannya sebuah Kweekschool yang kemudian terpaksa ditutup pada tahun 1858. Tetapi pada tahun 1500 dapat dibuka kembali. Murid-murid dari pengikut C. Coolen menyebarluaskan agama Kristen ini sampai ke Pasuruan dan Kediri. Kemudian berdatangan para zendeling dari negeri Belanda untuk menyebarkan agamanya di tengah-tengah umat Islam. Mereka mendirikan rumah sakit rumah sakit di banyak tempat di samping rumah sakit besar Mojowarno.
  4.    Di Jepara tinggal seorang bernama Tunggul Wulung yang terkenal dengan julukan Kiyahi Berahim. Dia adalah seorang petapa yang mengaku telah mendapat wahyu dari Allah lalu masuk Kristen. Tetapi kemudian dia campur-adukkan kepercayaan Kristen dengan Islam dan animisme, akhirnya dia tidak diakui lagi oleh gereja. Ada pula seorang santri bernama Sadrah, yang berhasil ditarik memeluk agama Kristen oleh seorang zendeling yang bernama Hoezoo. Sadrah kemudian mengembara hampir ke seluruh tanah Jawa dan banyak bertemu serta berwawancara dengan penyebar agama Kristen lainnya. Di Jakarta, dahulu Batavia, dia bertemu dengan MR. F.L. Anthing, bekas pejabat tinggi kehakiman di Semarang yang telah pindah ke Jakarta, Dia ini sangat besar jasanya dalam pernyebaran Kristen. Tahun 1867 Sadrah dibaptiskan dan dua tahun kemudian dia dipindahkan ke Purworejo untuk menyiarkan Kristen bekerja sama dengan nyonya Philips. Tahun 1870 pindah ke desa Karangjasa dekat Bagelen dan terus giat menyebarkan agamanya dan memimpin kaum Kristen Jawa. Dari sana Kristenisasi diperluas oleh Dewan Gereja (Gereformeerde Kerken) ke Banyumas dan Kedu lalu meluas ke Yogyakarta dan Surakarta.
  5.    Adapun di Sumatera pekerjaan zending dapat dikatakan dimulai pada tahun 1890 di daerah Sumatera Pasisir Timur. Pada tahun 1894 mereka sampai ke utara Danau Toba daerah Batak Karo. Pada tahun 1915 mereka dirikan rumahsakit di bawah pimpinan seorang Zuster bangsa Belanda. Pulau Nias dimasuki pada tahun 1866 oleh para zendeling dari perkumpulan Rheinische Missionsgeselschaft, yaitu gabungan zending yang berdiri pada tahun 1823 dan berpusat di Barmen wilayah Dusseldorf, Jerman. Mereka juga melebarkan sayap ke Pulau Mentawai dan Enggano. Rheinische Missionsgeselschafe ini juga beroperasi di pulau Kalimantan sebelah Selatan dan Timur untuk mengkristenkan suku Dayak. Pada tahun l904 kelihatan kemajuannya di Kuala Kurom dan Kahayan Hulu, lalu meluas dengan pesat. Demikianlah ringkasan sejarah kristenisasi yang dilakukan oleh agama Protestan di tanah air kita.


Sejarah kristenisasi oleh agama Katolik
  1.    Pada tahun 1902 di Batavia (Jakarta) mulai didirikan Apostolisch Vicariaan Van Batavia. Tetapi agama Katolik telah masuk ke Indonesia jauh sebelum itu. Pada abad ke 16 agama ini telah memasuki kepulauan Maluku, Ambon, Ternate, Solor dan Nusa Tenggara. Penyebarannya mula-mula dilakukan oleh bangsa Portugis yang menguasai kepulauan itu. Pada tahun 1546 seorang Apostel (muballigh) dari India juga datang ke sana, bernama Fransiscus Xaverius. Dia berhasil menarik simpati pemerintah Portugis dan penduduk asli. Tahun 1605 pulau Ambon dapat ditaklukkan. Pada waktu itu di Ambon telah ada 4 buah gereja dan sekitar 16.000 orang beragama Katolik.
  2.    Agama Katolik memasuki Sulawesi dari Makasar, dan itu semua dilakukan oleh pengikut madzhab Dominicus Orde (H. Dominicus hidup tahun 1170 - 1221) dan pengikut madzhab Yesuiten Orde. Madzhab Yesuit ini pada mulanya didirikan oleh seorang bangsawan Spanyol bernama Ignatius Loyola yang lahir tahun 1491. Dia adalah penganut aliran mistik dalam agama Katolik. Dalam peperangan melawan Perancis mendapat cedera yang mengakibatkan kelumpuhan seumur hidup. Mistiknya bertambah menebal dan mendapat banyak pengikut. Pada tahun 1529 dibentuknya di Paris suatu jama'ah yang dibai'at untuk mengabdi kepada Paus dan menyebarluaskan agama Katolik, Tahun 1539 semua anggota jama'ah dilantik menjadi pastor dan tahun 1560 Paus Paulus III meresmikan jama'ah ini sebagai Jamaah Yesus atau the Society of Yesus. Jamaah terus berkembang maju dan bersama Orde Yesuit.
  3.    Gerakan agama Protestan yang sangat memusuhi Gereja Katolik berhasil menghancurkan kedudukan Missie Katolik di India sejak abad ke 17. Tetapi revolusi Perancis telah menyebabkan terjadinya pergolakan politik di negeri Belanda yang mengakibatkan hancurnya pusat Zending Protestan dan bangkitnya kembali Missie Katolik, serta menjadi sangat kuat. Setelah jazirah Malaka dikuasai oleh bangsa Belanda dan kekuasaan mereka di Indonesia bertambah mantap, maka secara bertahap penyebaran agama Katolik di Sulawesi diambil-alih oleh bangsa Belanda, yaitu pada tahun 1807. Tujuh tahun kemudian yaitu tahun 1904 Pusat Missie Katolik di negeri Belanda mengirimkan 2 orang utusannya ke Jakarta yaitu Jacob Nellisen dan Lambert Prinsen. Kedudukan Missie dipusatkan di Jakarta, Semarang dan Surabaya. Pada tahun 1834 di Padang ditempatkan seorang pastor. Sejak tahun 1808 hingga 1845 mereka hanya mampu menempatkan 16 orang pastor itupun akhirnya hanya tinggal 4 orang.
  4.    Dalam Perang Diponegoro (1825-1830) ditengah-tengah tentara Belanda ditempatkan seorang Pastor bernama Scholtes. Dia mengadakan perjalanan inspeksi sampai ke Sulawesi dan Maluku kemudian melaporkan hasil penyelidikannya kepada Paus. Berdasarkan laporan itu Paus menganggap sudah tiba waktunya untuk membantu dan meningkatkan Missie Katolik di Indonesia menjadi Vicariat (perwakilan), lalu mengirimkan Mgr. Jacob Croaff selaku pemimpinnya. Pada tahun 1848 dia digantikan oleh Mgr. Peterus Maria Francken dengan dibantu oleh 5 orang pastor. Di bawah pimpinannya, missie ini mendapat kemajuan. Dari pulau pulau yang jauh letaknya berdatangan permintaan dari umat Katolik yang hidupnya terpencil. Akhirnya pada tahun 1859 kaum Yesuiten membantu dengan mengirimkan missionaris ke pulau Jawa lalu menempatkan mereka di Flores dan kepulauan lainnya.
  5.    Kemajuan Missie Katolik bertambah pesat setelah pada tahun 1874 Mgr. Francken digantikan oleh Mgr. Claessen yang sejak tahun 1848 bertugas di India. Didirikannya pos-pos di Cirebon, Magelang, Bogor, Malang dan Madiun. Untuk Sumatra di Medan dan Tanjung Sakti. Di Kalimantan dibangunnya pangkalan untuk kristenisasi suku Dayak. Demikian juga Makassar, Menado, Tomohon, Seram, Flores, Irian, Kendari, Sumbawa dan Timor. Claessen digantikan oleh Vicarius Apostoles M.J. Staal, kemudian pada tahun 1898 oleh Mgr. E.S. Luypen S.J. Sejak masa itulah agama Katolik mulai berkembang di pulau Jawa orang Jawa sukar untuk dirubah agamanya. Mereka beragama Islam dan tidak mau dikatakan tidak Islam, walaupun mereka tidak atau kurang menjalankan syari'ahnya. Missie mengambil jalan lain yaitu dengan mendekati anak-anak mereka yang pada umumnya hidup kekurangan. Untuk mereka didirikan sekolah-sekolah dasar dengan percuma, bahkan dengan diberinya alat-alat serta pakaian yang diperlukan. Kanak-kanak itulah yang berangsur di-Katolik-kan, dan itu terjadi sejak akhir abad ke 19. Maka dapatlah dikirakan bahwa banyaknya jumlah orang Jawa yang beragama Katolik adalah akibat karena mereka dahulu bersekolah di sekolah-sekolah Katolik.
  6.    Pangkalan Missie untuk Jawa Tengah yang pertama ialah Muntilan dan Mendut di mana sejak dahulu telah berdiri sekolah Katolik. Sekarang Mundlan menjadi pusatnya agama Katolik, kemudian Yogyakarta pun dipenuhi oleh sekolah mereka. Guru-guru tamatan Muntilan dikirim ke luar daerah dan banyak pula yang berdinas di sekolah Pemerintah (Gubernemen). Dari tahun ke tahun mereka terus mendapat kemajuan. Sekolah bertambah banyak terutama sekolah Pendidikan Guru. Rumah Sakit dan Rumah Yatim juga dibangun, sehingga kelihatannya memang benar-benar menguasai lapangan sosial dan pendidikan. Pada akhir tahun 1923 sekolah mereka berjumlah 52 buah dengan 5.840 orang murid. Mereka memiliki surat kabar seperti Mingguan Java Post, Sociaal Leven En Streven, Katholik Schoolblad Van Nederlands Indie dan De Indische Voorhoede. Dalam bahasa Indonesia yakni Gereja Katholik serta dalam bahasa Jawa Swara Tama. Di samping itu mereka dirikan sebuah percetakan di Yogyakarta pada tahun 1922. Untuk keperluan jalannya Missie Katolik beserta segala usahanya, mereka menerima bantuan keuangan dari negeri Belanda, yang diberikan oleh Dana St. Claverbond yang berdiri tahun 1889 dan oleh berbagai perkumpulan missie antara lain De Indische Missie Vereniging. Rupanya kaum Katolik tidak hanya berjuang dalam penyiaran agama, pendidikan, pengajaran, sosial serta pendirian gereja-gereja, tetapi juga berjuang dalam bidang politik. Pada tahun 1918 mereka telah mendirikan sebuah partai politik dengan nama De Indische Katholieke Partij.